Konsepsi Oligarki dan Kemunculannya di Indonesia (1)
Sampai saat ini, ruang pemberitaan selalu ramai dengan berbagai isu sosial politik di Indonesia. Kurang lebih sejak setahun lalu, kita bisa mencermati rentetan aksi massa yang terjadi di berbagai daerah. Mulai dari masalah seleksi calon pimpinan KPK dengan Revisi UU KPK yang menyertainya, revisi UU Minerba, hingga disahkannya UU Cipta Kerja serta sekelumit produk hukum lainnya.
Agak unik memang, rentetan aksi demonstasi yang telah dan sedang terjadi ini selalu memiliki pola yang sama: dimulai dari penolakan atas suatu produk hukum → menang (atau kalah?) hingga muncul lagi produk hukum serupa yang gak kalah keparatnya, tolak lagi, dan muncul lagi. Begitu seterusnya, tanpa memahami bahwa semua itu hanya hasil dari struktur kekuasaan yang ada. Dengan kata lain, produk hukum yang dihasilkan selalu bergantung dari bagaimana struktur kekuasaan itu konstruksikan.
Betapa sering saya temui orang yang mendaku sebagai aktivis selalu menyalahkan oligarki sebagai biang keladi dari berbagai produk hukum yang keparat itu. Ketika saya tanyakan apa yang dimaksud dengan oligarki, ia hanya menjelaskan bahwa oligarki itu merupakan elite politik yang rakus. Jawaban yang mirip juga saya temui dari teman tongkrongan yang tidak pernah ketinggalan mengikuti setiap aksi demonstrasi. Teman saya ini memang paling gacor ketika ngomongin politik. Ketika saya tanya, ia menjawab bahwa oligarki itu kekuasaan yang terpusat pada segelintir orang.
Mendengar teman saya berbicara seperti itu, saya hanya bisa bingung menanggapinya. Walaupun terlalu menggeneralisir, kiranya ini menjadi bukti bahwa beberapa kritik dan simbol yang dilontarkan hanya bersifat sloganistik semata dan sarat rasa haus untuk update instastory. Tak terlalu salah mungkin jika kita katakan bahwa rentetan aksi massa yang sedang terjadi tidak berakar dari pemahaman politik yang utuh. Teriak-teriak oligarki, tapi tak memahami makna dari oligarki itu sendiri.
Saya sendiri pernah membaca sebuah kajian dari BEM KM UGM (tautan kajian: drive.google.com/file/d/1ETEJJYXB5pm2VpYuB4UPyQqLwGsGRHoM/view) yang menganalisis kemunculan oligarki di era reformasi. Menariknya, kajian tersebut menegaskan hereditary politics sebagai bagian dari kemunculan oligarki. Tak terlalu salah, tapi tak tepat jika menganggap bahwa praktik politik kekerabatan sebagai konsekuensi logis dari kemunculan oligarki. Obsesi dari para aktor oligarki adalah soal pertahanan kekayaan, bukan pada soal seberapa besar kekuasaan politik langsung yang dimilikinya. Bahkan, mereka tak perlu memiliki jabatan dalam pemerintahan, hanya perlu memiliki tangan kanan yang berada dalam pemerintahan untuk menjalankan wealth defense.
Miskonsepsi Oligarki
Ketidakjelasan definisi oligarki bukan hanya dapat dijumpai dari ucapan orang-orang yang mendaku aktivis, tapi juga dalam studi kepustakaan. Bahkan, Jeffrey Winters, seorang ilmuwan politik, secara lugas mengakui bahwa oligarki termasuk salah satu konsep yang paling banyak digunakan, tapi paling tidak jelas dirumuskan.
Sebagaimana dikutip Winters, Schmidt menjelaskan bahwa sejak zaman Plato dan Aristoteles, konsep oligarki tidak pernah didefinisikan secara jelas. Hal ini kiranya disebabkan pemahaman sebagian besar penulis yang membahas oligarki dengan merujuk pada makna oligarki secara etimologi.
Secara etimologi, oligarki (oligarchy) berasal dari bahasa Yunani oligarkhia (pemerintahan oleh yang sedikit), yang terdiri dari kata oligoi (sedikit) dan arkhein (memerintah). Dengan merujuk pada asal bahasanya, konsep oligarki cenderung dirumuskan berdasarkan jumlah pemegang kekuasaan. Misalnya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, oligarki didefinisikan sebagai bentuk pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu.
Dalam praktiknya, definisi seperti ini sulit untuk dipastikan sehingga hampir semua sistem politik yang belum mengikutsertakan masyarakat secara penuh akan dianggap sebagai oligarki. Uni Soviet di rezim Stalin pun dianggap sebagai negara oligarki karena hanya anggota Partai Komunis yang mendukung Stalin saja yang berada dalam pemerintahan. Politik apartheid di Afrika Selatan juga dikritik sebagai oligarki karena hanya kelompok minoritas kulit putih saja yang memerintah atas mayoritas penduduk berkulit hitam.
Dengan pengandaian-pengandaian di atas, semua kekuasaan yang ada pun dapat kita golongkan sebagai oligarki. Hanya karena elite minoritas mendominasi mayoritas.
Oligarki didefinisikan secara tidak jelas dengan mengkritik setiap kelompok minoritas orang yang mendominasi pemerintahan sebagai oligarki. Padahal, dominasi sekelompok minoritas orang atas kelompok mayoritas dapat dijumpai dalam berbagai konteks. Pemahaman demikian membuat kita menganggap bahwa oligarki mustahil untuk dihilangkan dalam setiap bentuk pemerintahan manapun.
Konseptualisasi Oligarki
Dalam memahami konsep oligarki secara jelas, kiranya perlu disebut nama tiga ilmuwan politik, yakni Vedi Hadiz, Richard Robison, dan Jeffrey Winters. Walaupun berangkat dari latar belakang teoritis yang berbeda, ketiganya menekankan sumber material dari kekuatan ekonomi dan politik dalam merumuskan konsep oligarki.
Mereka juga sama-sama menekankan konsep pertahanan kekayaan (wealth defense) yang merupakan aktivitas utama aktor oligarki. Konsep pertahanan kekayaan ini kemudian dibagi oleh Winters menjadi dua komponen, yakni pertahanan harta (property defense, mengamankan klaim dasar atas kekayaan dan hak milik) dan pertahanan pendapatan (income defense, menjaga sebanyak mungkin pendapatan dan laba dari kekayaan di dalam kondisi hak milik yang aman).
Dalam karyanya yang berjudul Reorganising Power in Indonesia, Hadiz dan Robison menjelaskan oligarki sebagai “sistem hubungan kekuasaan yang memungkinkan konsentrasi kekayaan dan otoritas politik serta pertahanan kolektif atas kedua hal itu.” Sementara itu, dalam karyanya yang berjudul Oligarchy, Winters menjelaskannya sebagai “politik pertahanan kekayaan di antara mereka yang memiliki kekuasaan material.”
Mereka berangkat dari latar belakang teoritis yang berbeda. Hadiz dan Robison menggunakan sudut pandang neo-marxist dalam memposisikan oligarki sebagai bagian dari perkembangan kapitalisme global. Sementara itu, Winters berangkat dari sudut pandang Weberian dengan lebih menekankan peranan dan lokasi sarana pemaksaan dalam upaya politik pertahanan kekayaan. Perbedaan tersebut berimplikasi pada perbedaan mereka dalam memahami berjalannya kekuasaan oligarki.
Menurut Hadiz dan Robison, pada dasarnya oligarki berjalan secara kolektif serta dipahami sebagai pertemuan konflik antara kekayaan dan otoritas politik. Maka, otoritas politik menjadi bagian dari kekuasaan oligarki. Sebaliknya, menurut Winters, justru aktivitas oligarki tidak membutuhkan tindakan kolektif dari para aktor oligarki dan aktor oligarki tidak harus memiliki otoritas politik untuk dapat berjalan di luar kekuasaan politik. Walaupun bisa, aktor oligarki tak harus menjadi bagian dari pemerintahan untuk mengkonsentrasikan kekayaan pribadi mereka.
Sumber daya kekuasaan oligarki berasal dari kekuasan material. Dengan pendekatan teori Korpi tentang sumber daya, Winters membagi lima sumber daya kekuasaan individual yang meliputi kekuasaan berdasarkan hak politik formal, kekuasaan jabatan resmi dalam pemerintahan atau organisasi, kekuasaan pemaksaan, kekuasaan mobilisasi, dan kekuasaan material. Empat sumber kekuasaan yang disebut pertama akan menghasilkan “elite”, jika dipegang oleh individu secara eksklusif dan terkonsentrasi. Hanya kekuasaan material yang menghasilkan “aktor oligarki”. Hal inilah yang menjadi pembeda antara elite dengan aktor oligarki.
Konsentrasi kekayaan luar biasa yang terbatas pada segelintir orang melahirkan sekelompok minoritas orang yang memiliki dominasi kuat atas sebagian besar orang. Namun, oligarki berbeda dari kelompok minoritas pada umumnya karena dasar kekuasaan mereka ialah kekayaan material yang sulit diseimbangkan. Jika ada elite politik, semisal Presiden, yang menggunakan jabatannya untuk melawan hukum. Elite itu akan dengan mudahnya digulingkan dari jabatannya dengan dalih: melanggar kedaulatan rakyat. Hal yang demikian justru tak terjadi pada aktor oligarki.
Pada kenyataannya, hubungan antara kekayaan dan kekuasaan selalu berjalan akrab. Seorang caleg DPR RI dengan kekayaan pribadi luar biasa untuk kampanyenya sulit dikalahkan oleh caleg lainnya. Kementerian yang anggarannya lebih besar memiliki kekuasaan yang lebih besar. Konsentrasi kekayaan besar di sekelompok minoritas menciptakan kelebihan kekuasaan politik secara signifikan. Jika konsentrasi kekayaan pribadi yang ekstrem tak ada, maka oligarki mustahil ada.
Konsentrasi kekayaan pribadi yang sangat besar pada oligarki ini sangat unik. Berbeda dengan bentuk ketidakadilan lainnya seperti perbudakan, diskriminasi ras, serta ketidaksetaraan gender, ketidakseimbangan kekayaan material yang luar biasa selalu dianggap tidak boleh diganggu gugat. Maka, gagasan redistribusi kekayaan (wealth redistribution) secara radikal terus dianggap salah sejak zaman manusia purba.
(bersambung ke bagian 2)